BKSDA Bali Revitalisasi TWA Penelokan Pasca Pembongkaran menjadi kabar baik bagi upaya pelestarian lingkungan di Kintamani. Setelah melalui proses panjang penanganan bangunan ilegal, kini kawasan konservasi seluas 574,27 hektare ini memasuki fase pemulihan dengan pendekatan yang menyeluruh dan melibatkan berbagai pihak.
Upacara Guru Piduka Awali Proses Revitalisasi
Pemerintah Kabupaten Bangli bersama Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Bali menggelar upacara Guru Piduka pada Kamis, 13 November 2025 di kawasan Taman Wisata Alam (TWA) Penelokan, Kecamatan Kintamani. Upacara Hindu ini dilaksanakan sebagai simbol permohonan maaf dan penyucian kawasan yang sempat terbangun bangunan restoran tanpa izin lengkap.
Sekretaris Daerah Kabupaten Bangli, I Dewa Bagus Riana Putra, menyampaikan bahwa pemulihan tidak hanya berfokus pada aspek fisik semata. “Pemulihan yang kami lakukan tidak hanya fisik melalui penanaman pohon, tetapi juga spiritual,” ujarnya saat memimpin kegiatan reboisasi di lokasi. Pendekatan ini berakar pada filosofi Tri Hita Karana yang menekankan harmoni antara manusia, alam, dan Tuhan.
Upacara dipimpin oleh Pemangku Desa Adat Kedisan dan dihadiri sekitar 80 peserta, termasuk perwakilan Kementerian Kehutanan, Camat Kintamani, Kapolsek Kintamani, Perbekel Kedisan, Bendesa Adat Kedisan, Kelompok Wana Lestari, serta Kader Konservasi BKSDA Bali. Kehadiran berbagai unsur masyarakat ini menunjukkan dukungan kuat terhadap upaya pelestarian kawasan konservasi.
Penanaman Pohon untuk Mengembalikan Fungsi Konservasi
Setelah prosesi spiritual, kegiatan dilanjutkan dengan aksi penanaman pohon di area bekas bangunan restoran yang telah dibongkar. Langkah ini menjadi bagian penting dalam mengembalikan fungsi ekologis TWA Penelokan sebagai kawasan konservasi yang lestari. Menurut data Balai KSDA Bali, kawasan ini merupakan salah satu dari lima kawasan konservasi di Bali yang menjadi tanggung jawab pengelolaannya.
Kepala Balai KSDA Bali, Ratna Hendratmoko, menekankan pentingnya kolaborasi dalam rehabilitasi kawasan. “Kami tidak hanya fokus pada konservasi ekologi, tetapi juga mengedepankan pendekatan budaya dan partisipasi masyarakat,” jelasnya. Penanaman pohon ini diharapkan dapat mempercepat proses pemulihan bentang alam yang sempat terganggu akibat aktivitas pembangunan.
Latar Belakang Pembongkaran Bangunan di TWA Penelokan
Polemik bermula ketika ditemukan bangunan restoran berukuran 10,9 x 10 meter lengkap dengan fasilitas penunjang berupa toilet, dapur ukuran 7,4 x 4,8 meter, area taman depan 14,3 x 36 meter. Area parkir 11,7 x 38,7 meter di kawasan konservasi. Bangunan tersebut dibangun oleh seorang pengusaha lokal, I Ketut Oka Sari Merta, yang mengantongi Perizinan Berusaha Penyediaan Jasa Wisata Alam (PB-PJWA) dengan Sertifikat Standar nomor 23082200271370004 yang diterbitkan BKPM pada 7 Oktober 2024.
Namun, izin tersebut tidak mencakup pembangunan gedung atau bangunan permanen. Hak pemegang sertifikat hanya boleh memanfaatkan fasilitas pariwisata alam milik negara sesuai ketentuan perundang-undangan. Ketidaksesuaian ini memicu penolakan keras dari masyarakat adat Desa Kedisan.
Bendesa Adat Kedisan, I Nyoman Lama Antara, menegaskan bahwa kawasan hutan tersebut sangat disakralkan. “Kami di desa adat tetap menolak bangunan di sana. Kalau ada yang menebang pohon satu pun dan mengganggu satwa, tidak memandang siapa orangnya, pasti dikenakan sanksi sesuai awig-awig,” tegasnya dalam pertemuan dengan BKSDA Bali.
Setelah melalui rapat koordinasi pada 13 Oktober 2025, Pemkab Bangli memutuskan agar bangunan tersebut dibongkar. Keputusan ini didukung penuh oleh BKSDA Bali yang mengakui kelalaian dalam pengawasan. “Kami meminta maaf, ini akan menjadi pelajaran kami. Berikan kami waktu berbenah, jangan ragukan kami sebagai lembaga konservasi alam,” ujar Ratna Hendratmoko.
Komitmen Bersama Menjaga Kelestarian TWA Penelokan
Sekretaris Daerah Kabupaten Bangli mengapresiasi langkah BKSDA Bali yang mengedepankan nilai-nilai kearifan lokal. “Pelestarian alam akan lebih kuat jika dilakukan bersama-sama dengan nilai-nilai kearifan lokal. Baik Sekala maupun Niskala telah kita laksanakan dengan BKSDA Bali,” ungkapnya.
Revitalisasi kawasan ini juga sejalan dengan penyelesaian kasus permukiman 15 Kepala Keluarga (KK) yang telah menempati TWA Penelokan selama 45 tahun. Melalui Keputusan Menteri LHK Nomor 748 Tahun 2024, BKSDA Bali telah melaksanakan penandatangan perjanjian kerja sama dengan Kelompok Wana Lestari Penelokan, memberikan kepastian hukum dengan tetap mengedepankan prinsip konservasi.
I Nyoman Windia, Ketua Kelompok Wana Lestari Penelokan, menyampaikan rasa terima kasihnya. “Kami sangat bangga dengan Kepala Balai BKSDA Bali yang mau mendengar, mau merasakan, dan mau menyelesaikan proses ini. Kami meminta maaf dan berterima kasih kepada Balai KSDA Bali,” ujarnya dalam acara penandatangan.
Harapan untuk Masa Depan Kawasan Konservasi
Dengan semangat kebersamaan dan pendekatan holistik, TWA Penelokan diharapkan segera pulih dan kembali hijau. Kawasan konservasi yang terletak di Desa Batur Tengah, Desa Abang Batu Dinding, Desa Suter, Desa Buahan, dan Desa Kedisan ini memiliki peran penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem di Kintamani dan Bali secara luas.
Kolaborasi antara Pemkab Bangli, Balai KSDA Bali, Kementerian Kehutanan, masyarakat adat, dan kelompok pelestari hutan menjadi kunci keberhasilan rehabilitasi ini. “Kami ingin memastikan kawasan ini dapat diwariskan dalam kondisi terbaik kepada generasi mendatang,” tegas Sekretaris Daerah Bangli.
Melalui kegiatan revitalisasi ini, BKSDA Bali menegaskan pentingnya pelestarian sumber daya alam yang berlandaskan harmoni antara manusia dan alam. Kawasan konservasi diharapkan menjadi ruang pembelajaran bagi masyarakat untuk menjaga bumi secara berkelanjutan, sekaligus tetap menghormati nilai-nilai budaya dan kearifan lokal yang telah mengakar turun-temurun.
Proses pemulihan TWA Penelokan ini menjadi pelajaran berharga bahwa pengelolaan kawasan konservasi ke depan harus transparan, partisipatif, dan benar-benar berpihak pada kelestarian alam serta kearifan lokal masyarakat setempat.
