Taman Nasional Gunung Slamet menjadi harapan baru dalam upaya konservasi alam di Jawa Tengah. Pemerintah Provinsi Jawa Tengah telah resmi mengajukan proposal kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk mengubah status Gunung Slamet menjadi kawasan taman nasional. Langkah ini bukan sekadar kebijakan administratif, melainkan sebuah komitmen besar untuk melestarikan kekayaan alam yang dimiliki gunung tertinggi di Jawa Tengah tersebut.
Gunung Slamet memiliki ketinggian 3.432 meter di atas permukaan laut, sehingga menjadikannya sebagai puncak tertinggi kedua di Pulau Jawa. Kawasan ini membentang melintasi lima kabupaten yakni Brebes, Tegal, Pemalang, Purbalingga, dan Banyumas. Keberadaannya memberikan manfaat ekologis yang sangat besar bagi jutaan masyarakat di sekitarnya. Oleh karena itu, upaya perlindungan yang lebih optimal melalui status taman nasional menjadi sangat mendesak untuk segera diwujudkan.
Alasan Kuat di Balik Usulan Penetapan Taman Nasional
Gubernur Jawa Tengah Ahmad Luthfi menyampaikan bahwa surat pengajuan sudah dikirimkan kepada pemerintah pusat. Keputusan ini disampaikan dalam forum Musyawarah Perencanaan Pembangunan Wilayah pada bulan April 2025 lalu. Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Provinsi Jawa Tengah, Widi Hartanto, menambahkan bahwa kajian mendalam telah dilakukan sebelum mengajukan proposal tersebut. Kajian tersebut mencakup aspek ekologi, sosial, dan ekonomi yang akan terpengaruh dari perubahan status kawasan ini.
Salah satu alasan utama adalah fungsi Gunung Slamet sebagai daerah tangkapan air yang vital. Kawasan ini menyuplai kebutuhan air bagi jutaan penduduk serta ribuan hektare lahan pertanian di lima kabupaten. Dengan kondisi perubahan iklim yang semakin tidak menentu, menjaga sumber air menjadi prioritas utama. Apalagi, Jawa Tengah memiliki visi menjadi lumbung pangan nasional pada tahun 2026 mendatang. Tanpa air yang cukup, target ambisius tersebut akan sulit tercapai.
Selain itu, kekayaan keanekaragaman hayati di Gunung Slamet juga menjadi pertimbangan penting. Kawasan ini menjadi habitat bagi berbagai spesies endemik, termasuk 28 jenis burung langka dan Macan Tutul Jawa yang terancam punah. Penelitian dari organisasi Burung Indonesia mengungkapkan bahwa kawasan ini memiliki nilai konservasi yang tinggi. Namun, kondisi ekosistem gunung ini terus mengalami degradasi akibat aktivitas manusia yang tidak terkontrol. Beberapa spesies flora seperti anggrek endemik dilaporkan sudah menghilang dari habitatnya.
Dukungan Luas dari Berbagai Pihak
Usulan menjadikan Gunung Slamet sebagai taman nasional mendapat dukungan dari berbagai kalangan. Kementerian Lingkungan Hidup melalui Deputi Bidang Pengelolaan Sampah, Limbah, dan Bahan Berbahaya menyatakan dukungannya terhadap rencana pembentukan kawasan seluas 30.900 hektare ini. Dukungan tersebut disampaikan dalam acara Zero Waste Adventure Camp yang diselenggarakan di lereng Gunung Slamet pada Agustus 2025.
Para pegiat lingkungan juga aktif menyuarakan aspirasi mereka. Puluhan komunitas peduli lingkungan dari lima kabupaten bahkan menggelar “Kongres Darurat Gunung Slamet Menuju Taman Nasional” pada Oktober 2024 lalu. Acara tersebut mendapat dukungan dari Anggota DPD RI Abdul Kholik yang menyatakan siap memfasilitasi aspirasi masyarakat melalui jalur regulasi. Para pegiat lingkungan menilai bahwa Gunung Slamet tertinggal jauh dibandingkan Gunung Ciremai yang telah berstatus taman nasional sejak tahun 2004.
Suwong, seorang pegiat lingkungan dari Batang, mengusulkan agar konsep kawasan hutan alam “Sisik Naga” dihidupkan kembali. Konsep ini menghubungkan koridor hijau dari Gunung Prau hingga Gunung Slamet untuk menjamin ketersediaan air. Para petani juga menyampaikan keprihatinan mereka terhadap perubahan iklim yang disebabkan oleh penggundulan hutan. Mereka berharap penetapan sebagai taman nasional akan menghentikan kerusakan lebih lanjut.
Tantangan dan Kekhawatiran Masyarakat Lokal
Meskipun mendapat dukungan luas, usulan ini juga menghadapi tantangan yang tidak ringan. Masyarakat yang memiliki hak pengelolaan hutan melalui Program Perhutanan Sosial mengkhawatirkan nasib mereka jika kawasan berubah status menjadi taman nasional. Enam desa di Banyumas telah menerima Surat Keputusan Perhutanan Sosial untuk mengelola Kawasan Hutan Dengan Pengelolaan Khusus selama 35 tahun. Mereka khawatir akan terjadi tumpang tindih pengelolaan yang berujung pada konflik hukum.
Sungging Septivianto, Pendamping Program Perhutanan Sosial wilayah Banyumas, menyoroti potensi konflik tersebut. Masyarakat di lereng selatan Gunung Slamet telah mengelola hutan dengan baik sambil mendapatkan manfaat ekonomi. Mereka mengembangkan wisata berbasis alam seperti air terjun dan pengamatan burung. Model pengelolaan ini dianggap lebih tepat karena melibatkan masyarakat secara langsung dalam menjaga kelestarian hutan.
Para akademisi menekankan pentingnya pendekatan berbasis masyarakat dalam pengelolaan kawasan konservasi. Barid Hardiyanto dari UIN Saizu Purwokerto menegaskan bahwa pengelolaan hutan harus melibatkan partisipasi aktif masyarakat lokal. Pengalaman di berbagai taman nasional lain menunjukkan bahwa keberhasilan konservasi sangat bergantung pada dukungan masyarakat setempat. Oleh karena itu, pemerintah perlu merancang mekanisme yang mengakomodasi kepentingan masyarakat dalam pengelolaan Taman Nasional Gunung Slamet nantinya.
Peluang Ekonomi dari Ekowisata Berkelanjutan
Penetapan status taman nasional juga membuka peluang pengembangan ekowisata yang berkelanjutan. Kawasan ini memiliki potensi besar untuk menarik wisatawan domestik maupun mancanegara, terutama para pengamat burung dan pecinta alam. Model ekowisata yang melibatkan masyarakat lokal sebagai pemandu telah berhasil diterapkan di kawasan lain seperti Menoreh. Masyarakat tidak hanya mendapatkan penghasilan tambahan, tetapi juga terlibat langsung dalam upaya konservasi.
Namun, para pendaki gunung mengkhawatirkan dampak perubahan status terhadap aktivitas pendakian. Mereka beranggapan bahwa biaya pendakian akan meningkat signifikan karena mengacu pada Penerimaan Negara Bukan Pajak sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2024. Selain itu, regulasi kegiatan pendakian diprediksi akan semakin ketat dengan berbagai pembatasan. Kekhawatiran ini perlu dijawab dengan transparansi dan penyusunan regulasi yang adil.
Di sisi lain, banyak pihak yang melihat ini sebagai peluang untuk meningkatkan kualitas pengelolaan kawasan. Dengan pengelolaan yang profesional, keindahan alam Gunung Slamet dapat terjaga lebih baik sehingga memberikan pengalaman berwisata yang lebih berkesan. Infrastruktur pendukung seperti jalur pendakian, pos-pos peristirahatan, dan fasilitas keamanan akan ditingkatkan. Hal ini justru akan meningkatkan nilai jual kawasan ini sebagai destinasi wisata unggulan.
Langkah ke Depan Menuju Konservasi Optimal
Untuk mewujudkan Taman Nasional Gunung Slamet, diperlukan pendekatan yang komprehensif dan inklusif. Pemerintah perlu melakukan sosialisasi intensif kepada seluruh pemangku kepentingan, terutama masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan. Dialog yang konstruktif akan membantu menemukan solusi terbaik yang mengakomodasi kepentingan konservasi sekaligus kesejahteraan masyarakat lokal.
Pembelajaran dari penetapan taman nasional lain seperti Gunung Merbabu dan Gunung Lawu dapat dijadikan referensi. Kedua kawasan tersebut telah menunjukkan bahwa konservasi dan pemberdayaan masyarakat dapat berjalan beriringan. Model pengelolaan kolaboratif antara pemerintah, masyarakat, dan akademisi terbukti efektif dalam menjaga kelestarian alam sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Menurut informasi dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Indonesia saat ini memiliki 54 taman nasional yang tersebar di seluruh nusantara. Gunung Slamet berpotensi menjadi taman nasional ke-55 jika proposal yang diajukan disetujui. Penetapan ini akan menjadi pencapaian penting dalam upaya konservasi keanekaragaman hayati di Pulau Jawa yang memiliki tingkat kepadatan penduduk tertinggi di Indonesia.
Masa Depan Gunung Slamet sebagai Warisan Alam
Usulan penetapan Taman Nasional Gunung Slamet kini berada di tangan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk dikaji lebih lanjut. Proses ini memerlukan waktu karena harus mempertimbangkan berbagai aspek mulai dari ekologi, sosial, ekonomi, hingga hukum. Namun, dengan dukungan data ilmiah yang kuat dan aspirasi masyarakat yang terus mengalir, harapan untuk mewujudkan cita-cita ini semakin besar.
Keberhasilan usulan ini akan memberikan dampak jangka panjang yang sangat signifikan. Generasi mendatang akan mewarisi ekosistem yang terjaga dengan baik, sumber air yang berkelanjutan, serta keragaman hayati yang terlindungi. Lebih dari itu, penetapan status taman nasional akan menjadi simbol komitmen bangsa Indonesia dalam menjaga warisan alam untuk masa depan yang lebih baik.
Masyarakat Jawa Tengah dan Indonesia pada umumnya perlu terus memberikan dukungan moral terhadap upaya konservasi ini. Setiap individu memiliki tanggung jawab untuk menjaga kelestarian alam, bukan hanya mengandalkan kebijakan pemerintah. Dengan kesadaran kolektif dan kerja sama yang solid, cita-cita menjadikan Gunung Slamet sebagai taman nasional akan segera terwujud untuk kebaikan bersama.
